Oleh: Saadiah Uluputty, ST.Anggota DPR RI Fraksi PKS Dapil Maluku
Komisi IV Dapil Maluku Setiap tanggal 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional, sebuah momen penting untuk merefleksikan peran petani dalam mewujudkan kedaulatan bangsa.
Peringatan ini bukan sekadar seremonial, melainkan juga panggilan sejarah yang mengingatkan kita bahwa kekuatan Indonesia bertumpu pada ketahanan pangan, yang mana fondasinya adalah petani.
Dalam konteks ini, hilirisasi pertanian menjadi isu yang sangat relevan dan mendesak untuk kita bahas. Hilirisasi adalah sebuah proses berkelanjutan yang memastikan hasil pertanian tidak hanya berhenti pada tahap panen, tetapi berlanjut ke pengolahan, distribusi, hingga menciptakan nilai tambah di pasar.
Selama ini, petani sering kali terjebak dalam siklus produksi primer: menanam, memanen, lalu menjual dengan harga yang rendah. Hilirisasi menawarkan solusi dengan menghubungkan petani ke industri, pasar modern, bahkan ekspor, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih adil. Kita bisa belajar dari sejarah kejayaan Maluku sebagai pusat rempah dunia.
Cengkih, pala, dan berbagai rempah lainnya bukan hanya komoditas lokal, tetapi juga komoditas global yang mengubah peta perdagangan dunia. Sayangnya, warisan kejayaan ini belum sepenuhnya bertransformasi menjadi sistem hilirisasi modern.
Petani di Maluku masih menghadapi masalah harga yang tidak stabil, akses pasar yang terbatas, dan minimnya fasilitas pengolahan. Oleh karena itu, rencana Kementerian Pertanian untuk melepas varietas cengkeh hutan di Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah adalah langkah awal yang baik. Namun, pelepasan varietas saja tidak cukup tanpa ekosistem hilirisasi yang jelas dan terstruktur.
Hilirisasi pertanian memerlukan dukungan kebijakan lintas sektor yang kuat. Pertama, riset dan inovasi harus diperkuat. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian perlu menghasilkan teknologi pasca panen, pengolahan, dan pengemasan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Kedua, infrastruktur yang memadai sangat penting. Jalan produksi, pelabuhan, dan akses transportasi harus terhubung dengan pusat-pusat pertanian.
Tanpa infrastruktur yang baik, produk pertanian akan kehilangan daya saing. Ketiga, pembiayaan yang mudah diakses. Hilirisasi membutuhkan modal yang signifikan, sementara sebagian besar petani kita adalah usaha kecil. Negara harus hadir melalui skema kredit murah, asuransi pertanian, dan dukungan koperasi tani yang mampu mengelola modal dan pasar.
Keempat, regulasi yang melindungi petani. Pemerintah perlu memastikan adanya perlindungan harga, kebijakan ekspor yang berpihak pada petani lokal, serta penataan rantai distribusi yang adil.
Di Maluku, hilirisasi pertanian adalah kunci untuk membangkitkan ekonomi daerah. Potensi rempah, pala, cengkih, kelapa, dan sagu adalah kekayaan yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Selama ini, banyak hasil pertanian diekspor dalam bentuk bahan mentah dengan nilai tambah yang rendah. Jika kita melakukan hilirisasi—misalnya, mengolah pala menjadi minyak atsiri, cengkih menjadi bahan baku farmasi, dan kelapa menjadi produk makanan dan kosmetik—Maluku tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga pemain penting dalam rantai nilai global.