PT. Miranti Jaya Permai: Pidana Penambangan Ilegal Terbukti, Penyidik Didesak Tingkatkan Status!

  • Bagikan

Huamual, Maluku, Nusantaraharian.com – Kasus penambangan ilegal yang melibatkan PT. Miranti Jaya Permai di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, semakin memanas.

Perusahaan tersebut diduga kuat telah melakukan penambangan batu pecah ilegal selama bertahun-tahun, menyebabkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Desakan dari berbagai pihak agar kasus ini diusut tuntas semakin menguat. Berdasarkan investigasi tim gabungan yang melibatkan laporan masyarakat, data lapangan, dan analisis dokumen, PT. Miranti Jaya Permai diduga memulai aktivitas penambangan ilegal di Kali Dusun Tapinu, Desa Luhu, sejak tahun 2020. Pada tahun 2024, operasi dipindahkan ke Dusun Laala, Desa Lokki, Kecamatan Huamual.

Ironisnya, aktivitas ini dilakukan tanpa mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau izin lingkungan yang sah. Praktik ilegal ini terungkap pada Agustus 2025 setelah viral di media sosial dan media massa.

Hal ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak cepat. Polda Maluku dan Polres SBB merespons dengan penyelidikan intensif dan penyegelan lokasi tambang ilegal di Dusun Laala. Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. Rhosita Umasugi, pada 9 November 2025, menyatakan,

“Iya betul PT. Meranti Jaya Permai melakukan penambangan batu pecah tanpa izin. Dipasang police line agar kegiatan penambangan berhenti dan menunggu sampai proses pengurusan izinnya selesai.” Ujarnya Umasugi

Namun, aktivis asal Maluku yang juga berprofesi sebagai advokat, Akmal Al-Patty, menegaskan bahwa proses hukum pidana terhadap PT. Miranti Jaya Permai harus tetap berjalan, terlepas dari upaya perusahaan untuk mengurus izin.

“Penambangan ilegal adalah tindak pidana yang telah terjadi, dan upaya mendapatkan izin tidak menghapus fakta tersebut. Ini adalah kejahatan serius yang merugikan negara dan masyarakat,” tegasnya melalui pesan WhatsApp pada 10 November 2025.

Al-Patty menambahkan bahwa penambangan tanpa izin adalah tindak pidana yang sudah selesai dilakukan (delik formil). Upaya mendapatkan izin hanya akan melegalkan kegiatan di masa depan, bukan menghapus tindak pidana yang telah terjadi.

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020 mengatur sanksi pidana yang berat bagi pelaku penambangan ilegal, termasuk pidana penjara dan denda miliaran rupiah.

Selain sanksi pidana, pelaku juga wajib membayar ganti rugi atas kerugian negara yang timbul akibat penambangan ilegal. Praktik ini juga merugikan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka.

Kerusakan lingkungan mengganggu aktivitas pertanian dan perikanan, yang berdampak pada perekonomian lokal.

Hamdan Umagaf, seorang aktivis lingkungan dari WALHI Maluku, mendesak agar kasus ini diusut tuntas dan para pelaku dihukum seberat-beratnya.

Ia juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di seluruh Maluku dan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang melanggar aturan.

“Kasus PT. Miranti Jaya Permai menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Maluku.Pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk keuntungan segelintir pihak,” tegas Umagaf.

Umagaf juga menyampaikan Kasus ini akan terus dipantau oleh berbagai pihak, termasuk media massa, organisasi masyarakat sipil, untuk memastikan keadilan ditegakkan dan Maluku dapat terbebas dari praktik penambangan ilegal yang merugikan. (NH01)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *